Monday , November 17 2025
Home / Berita Utama / Atasi Darurat Sampah, RI Kebut 33 Proyek PLTSa

Atasi Darurat Sampah, RI Kebut 33 Proyek PLTSa

Jakarta, Jumat 03  Oktober  2025

Atasi Darurat Sampah, RI Kebut 33 Proyek PLTSa

 

 

Jakarta, indonesiaexpose.co.id – Indonesia tengah mengalami kondisi darurat dalam penanganan sampah.

Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), pada 2024 volume sampah di Indonesia mencapai 34,2 juta ton, diperoleh dari 317 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Namun, baru 59,74% atau sekitar 20,4 juta ton sampah yang terkelola, sedangkan sampah yang tidak terkelola mencapai 40,26% atau setara 13,8 juta ton. Dalam 5 tahun terakhir, sampah rumah tangga konsisten menjadi penyumbang sampah terbesar di Indonesia.

Pada 2020 

Sampah rumah tangga berkontribusi 37,69% terhadap total timbulan sampah di Indonesia, jauh di atas sampah perkantoran, perniagaan, pasar, dan sumber-sumber lain.

Pada 2021

proporsi sampah rumah tangga naik menjadi 48,9%, dan sempat turun tipis menjadi 40,23% pada tahun berikutnya.

Pada 2023

Sebanyak 60,46% timbulan sampah nasional merupakan sampah rumah tangga yang kemudian turun tipis menjadi 53,74%.

Pada 2024.

Berdasarkan data KLH volume sampah yang menggunung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di seluruh Indonesia telah mencapai 1,6 miliar ton. Tumpukan tersebut terus bertambah setiap tahunnya dengan tambahan 56,3 juta ton sampah baru. Kondisi ini diperparah oleh sistem pengelolaan sampah yang dinilai belum optimal serta keterbatasan teknologi yang tersedia.

Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono mengatakan timbunan TPA kini diperkirakan mencapai 1,6 miliar ton, menimbulkan persoalan sosial, kesehatan, dan memperburuk emisi gas rumah kaca, terutama metana yang dampaknya jauh lebih berbahaya dibanding karbon dioksida.

“ Tercatat 53 juta ton sampah per tahun dan lebih dari 60% belum terkelola dengan baik,” ujarnya dalam keterangan, di Jakarta, Rabu (1/10/2025).

Indonesia tengah berada pada momentum penting untuk menyelesaikan persoalan sampah secara menyeluruh. “Indonesia saat ini sedang memiliki bonus demografi, 68,95% penduduknya usia produktif, dan menurut survei, 77% Gen Z dan Gen Y peduli terhadap isu lingkungan. Artinya saat ini kita punya peluang untuk menggerakkan isu lingkungan,” katanya.

Dia menekankan Presiden Prabowo Subianto memberikan perhatian besar pada persoalan lingkungan dan telah menargetkan pengelolaan sampah 50% pada 2025 dan 100% pada 2029. Oleh karena itu, pendekatan baru yang komprehensif melalui teknologi waste to energy merupakan langkah strategis.

“Indonesia menimbulkan 146.000 ton sampah setiap hari atau sekitar 53 juta ton per tahun. Dari jumlah ini, hanya sekitar 9% hingga 10% yang benar-benar terkelola. Artinya, kita sedang menghadapi situasi darurat yang harus dipecahkan sekarang juga. Waste to Energy adalah salah satu solusi tercepat yang bisa kita lakukan,” ucap Diaz.

Kendati demikian, terdapat tantangan utama yang harus dihadapi yakni pendanaan. Pasalnya, dalam membangun sistem pengelolaan sampah berbasis teknologi waste to energy dibutuhkan investasi sekitar Rp300 triliun.

“Indonesia saja membutuhkan pendanaan iklim Rp4.700 triliun hingga 2030, sementara yang terealisasikan hanya sekitar Rp76 triliun per tahun. Artinya, ada funding gap yang besar termasuk dalam sektor pengelolaan sampah, peran pemerintah daerah juga menjadi krusial dalam menyukseskan waste to energy.

Pemerintah daerah diminta untuk menyediakan lahan seluas 4 hektare hingga 5 hektare dekat sumber air dan akses transportasi, serta memastikan pasokan minimal 1.000 ton sampah per hari. Pasalnya, PLTSa idealnya akan menghasilkan listrik sebesar 15 megawatt (MW) hingga 20 MW yang berasal dari 1.000 ton sampah per hari.

“Kebutuhan armada atau logistik angkutan sampah 1.000 ton membutuhkan 200 armada atau per armada membawa 5 ton. Kami menghimbau agar pemerintah daerah mengalokasikan setidaknya 3% dari APBD untuk pengelolaan lingkungan. Tanpa komitmen ini, pembangunan waste to energy akan sulit berjalan,” terangnya.

KLH telah memetakan sejumlah daerah yang menjadi prioritas utama dibangunnya pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) melalui program Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) atau waste to energy. Daerah prioritas tersebut yakni Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Bali.

“Ada kriteria-kriteria khusus yang memang harus kita perhatikan sebelum PSEL itu dibangun seperti lahan sekitar 5 hektare, dekat sumber air, akses jalan, dan minimal sampah 1.000 ton yang disuplai ke PLTSa. Dari 7 lokasi tersebut, Bogor dan Bekasi yang sudah memberikan surat minat resmi kepada Kementerian Lingkungan Hidup,” ujarnya.

Dia menilai program waste to energy bukan satu-satunya solusi namun menjadi langkah tercepat yang bisa dilakukan untuk menurunkan timbunan sampah. Pemerintah pusat, daerah, dan sektor swasta berkomitmen dalam mempercepat implementasi teknologi waste to energy di seluruh Indonesia. Langkah ini bukan hanya menjawab darurat sampah nasional tetapi juga menjadi bagian penting dari transisi menuju ekonomi hijau, penguatan ketahanan energi, dan pencapaian target Net Zero Emission (NZE) pada 2060.

“ KLH juga akan fokus mengelola sampah lama yang sudah menumpuk 1,6 miliar ton di TPA. Kami siap mendukung penuh program Presiden untuk mewujudkan pengelolaan sampah yang tuntas dan berkelanjutan,” kata Diaz.

Sementara , Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menegaskan pentingnya sinergi antara pengurangan sampah di hulu melalui partisipasi masyarakat dan pengolahan di hilir dengan teknologi waste to energi. Peran aktif pemerintah daerah dalam menyukseskan program Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL).

Program itu dinilai sebagai terobosan strategis dalam penanganan sampah berbasis hilir di mana energi hasil pengolahan akan langsung diserap oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Adapun mekanisme PSEL dimulai dari pengumpulan sampah masyarakat yang dibawa ke TPA yang kemudian diolah dengan teknologi insinerator yang membakar limbah pada suhu tinggi untuk mengurangi volume sekaligus menghasilkan energi.

Program PSEL ini dikembangkan secara nasional khususnya di wilayah padat penduduk seperti:

  1. Jakarta
  2. Surabaya
  3. Bandung
  4. Yogyakarta, dan
  5. Bali.

Kementerian Dalam Negeri telah mengidentifikasi 33 titik lokasi prioritas pembangunan PSEL baik dikelola satu daerah maupun melalui kerja sama kawasan (aglomerasi) agar memenuhi syarat minimal 1.000 ton sampah per hari.

“Kami akan mengawal program tersebut, sementara pemerintah daerah (pemda) diminta menyiapkan lahan dan infrastruktur pendukung. Dengan adanya 33 titik waste to energy ini, problem sampah terutama di daerah penyumbang terbesar bisa lebih baik ditangani,” ucap Tito.

Selain menciptakan lingkungan lebih bersih, program PSEL juga meringankan beban pemda dalam pengelolaan sampah kota serta menghasilkan nilai ekonomis bagi negara melalui energi terbarukan. Pemerintah juga telah menghapus sistem tipping fee, yaitu biaya yang sebelumnya dibayarkan pemda kepada operator fasilitas pengolahan sampah. Pasalnya, selama ini pemda harus mengumpulkan sampah dari masyarakat dan kemudian membawanya ke tempat pembuangan akhir serta membayar pengelola sampah.

“Keberhasilan PSEL bergantung pada sinergi pemerintah pusat, pemda, dan sektor swasta, dengan manfaat langsung bagi masyarakat, daerah, maupun negara. Jangan khawatir, sudah banyak praktik yang menunjukkan bahwa metode insinerator dengan teknologi yang digunakan tidak menimbulkan polusi udara,” terang Tito.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengungkapkan diperlukan investasi senilai US$2,72 miliar atau setara Rp45,4 triliun untuk meningkatkan kapasitas PLTSa sebesar 452,7 megawatt (MW) hingga 2034 di Indonesia.

Adapun PLTSa di 33 provinsi bakal mengadopsi teknologi incineration atau direct combustion. Teknologi tersebut lebih efektif untuk membakar sampah yang kemudian bakal menjadi energi panas. Pemilihan teknologi incineration dianggap lebih efektif ketimbang teknologi sebelumnya gasifier yang dipakai pada proyek PLTSa Benowo di Surabaya dan PLTSa Putri Cempo di Surakarta. Pasalnya, teknologi gasifier terbilang sensitif terhadap jenis sampah.

“ Teknologi incineration mampu menerima berbagai jenis sampah dengan ketahanan lebih stabil, sehingga menghasilkan listrik dengan kapasitas lebih optimal,” terangnya.

KESIAPAN DANANTARA & PLN Sementara itu, CEO Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) Rosan Roeslani menilai Indonesia sudah berada pada fase darurat sampah yang luar biasa.

Oleh karena itu, program waste to energy atau konversi sampah menjadi energi menjadi program prioritas pemerintah yang akan digarap Danantara. Program waste to energy akan dimulai pada akhir Oktober 2025. Program ini memberikan lebih banyak manfaat dibanding tempat pemrosesan akhir karena bisa mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 80%, menghasilkan energi terbarukan, dan menghemat 90% penggunaan lahan. Program tersebut rencananya bakal berlangsung di 33 kota di Indonesia yang dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama bakal dimulai di Jakarta, Bekasi, Tangerang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Bali.

“ Memang kita akan melangsungkan ini di 33 kota. Tetapi memang yang utama yang ingin kita lakukan pertama adalah di Jakarta. Di Jakarta sendiri akan ada 4-5 lokasi. Kemudian di Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Bali, dan juga beberapa daerah seperti Bekasi, Tangerang. Beberapa daerah yang sudah menyatakan kesiapan untuk program ini,” terangnya.

Dia menuturkan terdapat skema baru dalam program waste to energy yakni dihapuskan tipping fee yang sebelumnya dibayarkan pemerintah daerah kepada pengelola limbah. Nantinya, akan diberikan tarif flat sebesar US$20 sen per kilowatt hour (kWh) yang berlaku untuk 1.000 ton sampah per hari. Dari 1.000 ton sampah yang dikelola per hari diproyeksikan dapat menghasilkan lebih dari 15 MW listrik dan berkontribusi terhadap 20.000 rumah tangga.

“Jadi tidak ada lagi beban tipping fee yang dikembangkan kepada perusahaan daerah, tetapi itu semua akan diserap langsung oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero, yang kemudian PLN akan menciptakan subsidi dari pemerintah pusat. Optimalisasi penyerapan listrik dari PLTSa oleh PLN sebagai offtaker dengan tarif yang tetap US$20 sen per kWh,” ujar Rosan.

Sementara Managing Director Investment BPI Danantara Stefanus Ade Hadiwidjaja menambahkan dibutuhkan anggaran senilai Rp2 triliun hingga Rp3 triliun untuk pembangunan setiap satu titik lokasi proyek PSEL.

Tujuan utama dari pengolahan sampah menjadi energi yakni pembersihan lingkungan, mengurangi darurat sampah, mengubah dengan teknologi yang optimal menjadi energi. Energi tersebut nantinya bakal diserap seluruhnya oleh PLN. Adapun sampah menjadi energi tersebut akan menggunakan teknologi incinerator atau dengan cara dibakar.

“ Di banyak negara, masalah sampah ini boleh dibilang sudah bisa ditanggulangi dengan salah satu teknologi yang paling banyak dipakai adalah teknologi waste to energy, incinerator, jadi dibakar. Budget bisa cukup luas, mungkin untuk 1000 ton kira-kira antara Rp2 triliun-Rp3 triliun total investasi termasuk untuk infrastruktur pendukungnya,” katanya.

Pembangunan proyek ini dapat membuka lapangan pekerjaan baru termasuk menghadirkan multiplier effect ke depan. Selain itu, pembangunan PSEL ini akan membutuhkan waktu mencapai 18 sampai 24 bulan.

“Pembangunan kira-kira butuh 18 sampai 24 bulan, pasti kita akan menghire orang-orang yang menjalankan, mengoperasikan itu, dan ada effect multiplier-nya lagi yang bisa beberapa kali lipat,” ucap Stefanus.

Direktur Utama PT PLN (Persero) PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, pihaknya akan mendukung upaya pemerintah dalam upaya pengembangan program Waste to Energy sebagai offtaker atau penyerap listrik yang dihasilkan dari PLTSa meskipun harga beli listrik yang dipatok cukup tinggi.

Menurutnya, listrik yang dihasilkan dari PLTSa terbilang berkapasitas kecil jika dibandingkan dengan pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT) lainnya. Pengelolaan sampah 1.000 ton untuk PLTSa akan menghasilkan listrik dengan kapasitas di kisaran 15 megawatt hingga 17 megawatt (MW).

“ Mungkin bisa jadi 20 MW kalau sangat efisien, tergantung jenis sampah. Sebenarnya pembangkit yang sangat kecil untuk PLN. Jadi, untuk hal ini, sesuai dengan arahan Presiden Prabowo,” tuturnya.

Saat ini, PLN masih menantikan Perpres pengelolaan sampah terbaru untuk dipelajari. Pasalnya, pengembangan PLTSa harus memiliki poin penting dari sisi kelayakan teknis dan komersial. Jika keduanya layak, maka PLN berharap agar pengembangan segera dieksekusi dan pembangunan pembangkit lebih cepat. Nantinya pengusaha pembangkit listrik swasta akan berinvestasi dan penyedia teknologi yang bekerja sama dengan BPI Danantara, “PLN lebih merupakan offtaker. Jadi, kami menandatangani perjanjian jual beli,” ujar Darmawan.

MASTERPLAN KELOLA SAMPAH HULU HILIR Terpisah

Managing Director Energy Shift Institute Putra Adhiguna berpendapat PLTSa bisa berjalan selama biaya listriknya bisa disanggupi karena harga listrik yang memang mahal. Tantangan mengenai tipping fee selalu menjadi perdebatan karena daerah yang memiliki anggaran terbatas.

“ Biaya pembangunan 1 PLTSa sangat bervariasi tergantung lokasi, konteks dan teknologi mulai dari US$5 juta hingga US$10 juta per Megawatt (MW). Rerata kapasitas 1 PLTSa itu 5 MW hingga 12 MW memang ini kecil karena cukup mahal juga teknologinya,” jelasnya.

Menurutnya, PLTSa menjadi solusi penting bagi persoalan timbunan sampah. Namun, menjadikannya beban tambahan bagi PLN akan membuat sektor ketenagalistrikan semakin sulit karena pembayaran kompensasi listrik.

“ Memaksa PLN membeli listrik pada US$13 sen hingga US$20 sen per kWh yang 2 kali hingga 3 kali lipat biaya listrik mereka tidak mudah,” ucapnya.

Putra menilai pengurangan sampah dengan skema daur ulang sangat penting, Namun, jalan pengolahan seperti insinerasi memang penting tetapi jangan dicampuradukkan dengan beban ketenagalistrikan.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan biaya pengembangan teknologi PLTSa relatif lebih mahal dibandingkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap dan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH).

Hal ini karena pengembangan PLTSA membutuhkan pembiayaan US$5 juta hingga US$13 juta yang tergantung lokasi. Selain itu, yang menjadi tantangan di Indonesia tidak semua sampah dapat diolah menjadi energi sehingga harus ada pemilahan.

Semestinya, sampah yang berasal dari rumah tangga harus diolah terlebih dahulu dan tidak tercampur. Pasalnya, terdapat limbah yang berbahaya bagi PLTSa.

“ Jadi yang mahal itu adalah pemilahan sampah. Kemudian ada tipping fee atau proses pemungutan sampah dari rumah tangga sampai ke tempat pembangkit listriknya, biaya transportasi. Energi sampah ini, pembangkit sampah juga berdampak pada polusi udara karena dilakukan pembakaran sehingga cenderung kurang ramah lingkungan.

Menurutnya, PLTSa kurang bisa berkompetisi dengan pembangkit lainnya karena biaya penjualan dan pembelian listriknya dari PLN. Selama ini yang menjadi ketidakpastian adalah dari sisi jual beli listrik kepada PLN-nya karena dikategorikan sebagai Indonesian Power Produsen (IPP). Di sisi lain, PLN masih lebih efisien untuk memilih pembangkit energi terbarukan lainnya. Hal inilah yang menjadi salah satu permasalahan beban subsidi dari sisi PLN-nya jadi lebih mahal.

“ Kalau investor sekarang lebih banyak kan PLTS terapung, terus banyak lagi pengembangan hidro dibandingkan sampah. Sampah itu sebenarnya sudah lama tapi tidak terlalu banyak menarik minat investor. Jadi investor dari Timur Tengah maupun dari China lebih tertarik soal PLTS terapung dan pembangkit lainnya. PLTSa dibandingkan batubara pun juga sebenarnya masih lebih efisien batu bara,” terangnya.

Secara keekonomian, PLTSa cukup berat bagi PLN sebagai pembeli listriknya dan juga untuk investor. Hal ini berbeda dengan negara di Eropa dimana pada tingkat rumah tangga telah dilakukan pemilihan sampah dari yang bisa didaur ulang hingga yang berbahaya termasuk plastik.

“ Pemilahan sampah sangat penting untuk memudahkan PLTSa. Biaya pemilihan ini memang sangat mahal sehingga susah untuk mencari internal rate of return atau return on investment dari pembangkit listrik tenaga sampah. Karena sangat bervariasi dengan variable yang lebih kompleks daripada pembangkit listrik tenaga terbarukan lainnya,” ujar Bhima.

Juru Kampanye Isu Plastik dan Perkotaan Greenpeace Indonesia Ibar Akbar berpendapat rencana pembangunan PLTSa saat ini menjadi salah satu PSN yang ada di beberapa titik digadang-gadang sebagai solusi atas masalah sampah di Indonesia. Namun demikian, pembangunan PLTSa ini membutuhkan modal besar untuk pengoperasian mengingat anggaran pengelolaan sampah sebagian besar daerah juga kecil.

“ Jadi ini akan jadi beban anggaran bagi pemerintah daerah. Masalah lainnya sampah kita masih tercampur, antara sampah organik dan sampah plastik membuat semakin besar energi untuk mengoperasikan PLTSa. PLTSa pastinya butuh pasokan sampah plastik yang kering dan bersih, pembangunan PLTSa 33 titik bukan jawaban dalam mengatasi permasalahan sampah yang ada. Hal ini karena berdasarkan hierarki pengelolaan sampah, pemerintah masih belum memprioritaskan pengurangan di hulu padahal waste to energy menjadi hiearki paling akhir.

menurut Ibar, anggaran untuk pembangunan PLTSa seharusnya dialihkan untuk meningkatkan anggaran pengelolaan sampah di daerah dengan memprioritaskan pemilahan dan daur ulang sampah organik karena beban TPA salah yang terbesar adalah sampah organik. Kalau mau mengandalkan PLTSa ini artinya perlu pasokan sampah plastik yang besar dan artinya kita harus terus memproduksi sampah plastik agar PLTSa berjalan dan tidak sejalan dengan hierarki pengelolaan sampah.

Manajer Kampanye Tata ruang dan Infrastruktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Dwi Sawung mengatakan, pembangunan PLTSa membutuhkan biaya yang besar yakni US$4 juta hingga US$10 juta per MW dan biaya operasional yang mencapai US$60 per ton agar menghasilkan polusi udara yang sangat rendah. Pasalnya, PLTSa yang telah beroperasi di Jawa Timur menimbulkan masalah polusi udara.

“Rencana membangun yang di 12 kota saja terseok-seok ini mau memaksakan 33 kota, tidak akan berhasil. Apalagi kembali tidak ada evaluasi terbuka yang melibatkan semua pihak terhadap Perpres PLTSa era presiden sebelumnya,” tuturnya.

Menurutnya, pembangunan PLTSa sebagai upaya menangani permasalahan sampah bukanlah sebuah solusi namun menimbulkan masalah baru. Pasalnya, masih banyak kabupaten dan kota masih banyak bermasalah sistem dan masterplan pengelolaan sampah. Bahkan, terdapat kabupaten dan kota tidak punya sistem pengangkutan dan pengelolaan sampah serta tidak memiliki data timbulan sampah.

“ Yang dasar dulu dilakukan sebelum memilih satu teknologi yang belum tentu sesuai dengan timbulan sampahnya. Penyelesaian sampah ini harus dari hulu ke hilir, kalau sudah di hilir jadi sulit dan mahal,” pungkasnya.

(017)

 

 

340

Check Also

Ketua Fraksi PDIP DPRD Bali & Ketua Pansu TRAP DPRD  Bali Dr. ( C ) Made Supartha S.H.,M.H.,

Bali, Senin  17  November  2025 Ketua Fraksi PDIP DPRD Bali & Ketua Pansu TRAP DPRD  …

Renungan  Joger

Bali, Senin  17  November  2025 Renungan  Joger 67