Tuesday , September 2 2025
Home / Bali / Bersama Ida Shrii Bhraja Ganaachakra Mencari Solusi Upacara Biaya Mahal Bagi Umat Kurang Mampu

Bersama Ida Shrii Bhraja Ganaachakra Mencari Solusi Upacara Biaya Mahal Bagi Umat Kurang Mampu

Denpasar, Sabtu 23 Juli 2022

Bersama Ida Shrii Bhraja Ganaachakra
Mencari Solusi Upacara Biaya Mahal Bagi Umat Kurang Mampu

 

(Foto/ist)

 

Bali,  indonesiaexpose.co.id  –  Ida Shrii Bhraja Ganaachakra termasuk sosok sulinggih yang berani melawan arus. Sebagai respon atas masalah umat Hindu, beliau berani membuat terobosan yang sangat berarti bagi umat yang tidak mampu untuk melakukan upacara keagamaan karena keterbatasan dana. Ini berawal dari pengalaman pahit beliau sendiri saat upacara pengabenan Ayahanda tercinta. Sebagai wujud pemberontakan, beliau sempat beralih keyakinan, namun kembali kedalam pangkuan Dharma semenjak bertemu seorang Guru Spiritual.

Didiksa sebagai Sulinggih pada tahun 2015, sekitar tahun 2018, Ida Shrii Bhraja Ganaachakra sempat membuat Surat terbuka untuk Ketua Umum PHDI Pusat, terkait mahalnya biaya upacara. Saat konflik antar Hindu Tradisional Ritualistik versus Hindu Universal Humanis, beliau juga berkirim surat langsung kepada Presiden Jokowi, tertanggal 17 Agustus 2021, perihal Pengusiran Aliran Hindu.

“Solusi kesederhanaan upacara hanya bisa DIMULAI DAN DIBERIKAN CONTOH oleh para pemuka agama mulai dari Pandita, Pinandita, pengurus pura / organisasi keumatan dan para pejabat / publik figur. Banyak sekali susastra Veda yang memberikan berbagai pilihan di dalam menjalankan upacara-upacara tradisi Veda”, ujar Ida Shrii Bhraja Ganaachakra saat di temui di Denpasar, Sabtu (23/7/2022).

Menurutnya, di Lombok sudah ada terobosan yang sangat baik dan berani dari seorang Pedanda yakni Ida Pedanda Gde Puja (Grya Gunung Sari) yang berkenan menyelesaikan Ngaben dengan biaya 3 juta saja dan seorang Mpu yakni Ida Pandita Mpu Mas Suyasa (Grya Taman Emas) dengan banten Ngaben 1,5 juta saja.

“Selama ini para pemuka agama (apalagi umat) takut bahkan dihindari untuk berupacara pada tingkatan KANISTA karena KETIDAKTAHUAN dan MULE KETO akibat dari gelapnya jalan beragama tanpa diterangi PENGETAHUAN/VEDA. Generasi muda dilarang untuk bertanya karena mule keto dari dulu harus dilaksanakan tanpa boleh ada pertanyaan apapun apalagi sanggahan, ”paparnya.

Ida Shrii mengungkap, bahwa sejatinya SEORANG PANDITA TIDAK LAGI MEMBUTUHKAN SARANA APAPUN DALAM BERUPACARA atau setidaknya sanggup untuk menyelesaikan upacara apapun hanya dengan banten sebiji buah, setangkai bunga, sehelai daun sebagaimana dijelaskan secara rinci oleh Shri Krishna di Bhagavadgita IX.26, yang mau versi manapun terjemahannya akan mengatakan kurang lebih “cukup dengan sebiji buah, seteguk air, setangkai bunga atau sehelai daun sebagai persembahan yang tulus kepada Tuhan.

Inilah yang membutuhkan kajian-kajian di lembaga terhormat kita PHDI kedepannya, agar para pemuka agama kita MENGAPLIKASIKAN SASTRA AGAMA yang dikuasainya dengan baik di lapangan. Jangan lagi menolak muput upacara BANTEN KANISTA bila perlu sosialisasikan tanpa henti.

Ida Shri memberi saran, lebih baik uangnya dimanfaatkan untuk peningkatan SDM Hindu dan menjangkau umat-umat Hindu di pedalaman yang selama ini jarang tersentuh karena terkendala anggaran/biaya. Mari pergunakan uangnya untuk membuka kelas-kelas Bahasa Sanskrta agar generasi muda berikutnya melek bahasa Veda, tidak hanya bisa menguncarkan mantra dan membaca sloka akan tetapi memahami maknanya dengan benar.

“Mari kita pergunakan uangnya untuk menyelenggarakan pelatihan-pelatihan ekonomi kerakyatan berbasis desa adat, karena lagi-lagi FAKTANYA saat ini ekonomi Bali utamanya UMKMnya dikuasai oleh non Hindu. Orang-orang non Hindu meminjam uang di Bank untuk modal usaha untuk menguasai ekonomi Bali sementara orang-orang Hindu meminjam uang di bank untuk upacara menegakkan dresta”, sambungnya.

Lanjutnya, kami sesungguhnya tidak alergi dengan upacara besar, bahkan senang dan bahagia, asalkan dilaksanakan oleh umat yang memiliki dana berlebih. Bahkan oleh sebuah catatan indah dari Sugi Lanus bahwa upacara besar dari masa lampau umumnya hanya dilaksanakan oleh para RAJA, namun sekarang rakyat kecilpun rela berhutang demi melaksanakan upacara besar yang biasanya dilakukan oleh seorang raja.

Pihaknya tidak mau memperkeruh polemik yang ada, yang entah ini semua karena politik, kebangkitan feodalisme gaya baru, atau yang lainnya.

Sebenarnya kami berusaha untuk lebih banyak diam dan menarik diri dari diskusi-diskusi di medsos yang sudah sangat keterlaluan buruknya, sangat jauh melenceng dari manusia beragama yang beradab.

” Tak lupa kami mohon maaf yang sebesar-besarnyanya bila mesti mengungkapkan FAKTA yang barangkali menyakitkan, namun percayalah kita butuh SAKIT untuk bisa BERUBAH lebih baik, sebagaimana ulat bersakit sakit dahulu dalam kepompong untuk kemudian bertransformasi menjadi kupu-kupu yang indah,” tandasnya.

(A.A.Md Sudarsana/071)

 

1,194

Check Also

Gubernur Koster: TNI dan Polri Jaga Ketat Bandara dan Pelabuhan

Denpasar, Minggu  31  Agustus  2025 Gubernur Koster: TNI dan Polri Jaga Ketat Bandara dan Pelabuhan …

Renungan  Joger

Bali, Minggu  31  Agustus   2025 Renungan  Joger 130