Denpasar, Selasa 12 Agustus 2025
Anomali Triwulan II-2025 Ekonomi Bali Melejit 5,95%
Bali, indonesiaexpose.co.id – Bank Indonesia batasan risiko kredit sebesar 5%. Tapi di Bali non performing loan (NPL) hanya 1,42%, atau masih jauh di bawah angka risiko kredit yang dipersyaratkan oleh Bank Indonesia.
Begitu pula, loan at risk (LAR) di Bali saat ini cukup rendah, hanya sekitar 10%. Kondisi itu berbeda saat pandemi covid-19, indikasi risiko kredit mencapai 80-90%.
Hal ini di jelaskan Deputi Direktur Kantor Perwakilan wilayah Bank Indonesia (KPwBI) Provinsi Bali Andy Setyo Biwado saat jadi pembicara di acara Talkshow Balinomics di Denpasar, Selasa, 12 Agustus 2025.
“Jadi masih ada ruang untuk perbankan menyalurkan kredit, karena risikonya yang relatif rendah. Begitu pula dilihat dari loan at risk itu juga relatif rendah dan trennya menurun,” kata Andy.
Dirinya berharap, kalangan perbankan mendorong banyak sektor melalui penyaluran kredit. Sehingga, perkembangan ekonomi di Bali tidak hanya tinggi tapi juga sustain.
Andy mengungkap, pertumbuhan kredit di Bali hanya berada di angka 4%. Sedangkan pertumbuhan ekonomi Bali Triwulan II-2025 mencapai 5,95% atau lebih tinggi dari rata-rata nasional sebesar 5,12%. Meskipun, angka rata-rata nasional yang dirilis BPS itu kontradiktif dengan ekspektasi pelaku pasar dan ekonom yang memperkirakan di bawah 5%.
” Pertumbuhan kredit yang rendah itu dianggap sebagai anomali. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi mengatasi angka rata-rata nasional tidak berkorelasi dengan pertumbuhan kredit di Bali.Padahal, Bank Indonesia sudah mengeluarkan kredit likuiditas makro prudensial, jadi ini sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh perbankan,” kata Andy.
Ia menjelaskan kebijakan likuiditas makro prudential dalam pemahaman sederhana, menguntungkan kalangan perbankan. Sebab, dengan aktif menyalurkan kredit maka akan mengurangi simpanan ke bank sentral.
“Itu salah satu insentif yang diberikan. Harapannya, dengan insentif itu bank akan lebih aktif menyalurkan kredit,” jelas Andy.
Sementara, dari pandangan media massa, Direktur Bisnis Indonesia Hery Trianto melihat, di tengah pesimisme yang muncul, pemangku kepentingan perlu memberikan dukungan bukti dan data.
Ia memandang, munculnya fenomena rombongan hanya tanya (Rohana) dan rombongan jarang beli (Rojali) dapat menimbulkan ekspektasi buruk.
“Tantangannya adalah membuktikan apakah sistem konsumsi masyarakat itu berubah? Padahal sistem konsumsi itu tidak berubah tinggal dicarikan bukti-bukti yang cukup kuat untuk meyakinkan publik, karena media itulah yang menyampaikan ke publik,” kata Hery.