Wednesday , August 13 2025
Home / Bali / Tiga Fraksi DPRD Bali Dukung Pembentukan Bale Kertha Adhyaksa

Tiga Fraksi DPRD Bali Dukung Pembentukan Bale Kertha Adhyaksa

Denpasar, Senin  11  Agustus  2025

Tiga Fraksi DPRD Bali Dukung Pembentukan Bale Kertha Adhyaksa

 

Rapat Paripurna ke-31 membahas Raperda Bale Kertha Adhyaksa di Ruang Wiswa Sabha Utama, Kantor Gubernur Bali, Senin (11/8/2025). (Ket.foto: index)

Bali, indonesiaexpose.co.id – DPRD Bali gelar rapat paripurna ke-31 masa Persidangan III Tahun Sidang 2024-2025 dengan agenda pandangan umum fraksi-fraksi terhadap Raperda Provinsi Bali tentang Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat. Sebuah inisiatif regulasi yang diharapkan menjadi penguat peran desa adat dalam penegakan hukum adat di Pulau Dewata.

Rapat Paripurna Ke-31 Masa Persidangan III Tahun Sidang 2024–2025, dibuka secara resmi oleh Ketua DPRD Bali, Dewa Made Mahayadnya, S.H., Senin (11/8/2025), bertempat di Wisma Sabha Kantor Gubernur Bali.

Tiga fraksi DPRD Provinsi Bali, yakni Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Golkar, dan Fraksi Partai Demokrat–Nasdem, menyatakan dukungan bulat terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Bale Kertha Adhyaksa di Bali.

Pandangan umum fraksi dibacakan oleh I Gusti Ngurah Gede Marhaendra Jaya, dar PDIP mewakili ketiga fraksi.

Dalam pandagan umum fraksi itu, disampaikan pembentukan Bale Kertha Adhyaksa merupakan langkah strategis dalam memperkuat sistem keadilan restoratif berbasis kearifan lokal Bali.

“Lembaga ini selaras dengan semangat Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat, yang menempatkan desa adat sebagai pilar utama dalam menjaga keharmonisan sosial, budaya, dan spiritual masyarakat, ” ujarnya.

Menurut pandangan ketiga fraksi, Bale Kertha Adhyaksa akan berperan memfasilitasi penyelesaian sengketa adat, perkara pidana ringan, hingga konflik sosial secara musyawarah, bekerja sama dengan kejaksaan, kepolisian, perangkat desa, dan pecalang.

“Pendekatan ini diharapkan memulihkan hubungan antarpihak, bukan melalui peradilan formal,” tegasnya.

Selain menyatakan dukungan, ketiga fraksi menyampaikan lima catatan strategis: Penguatan kelembagaan melalui harmonisasi regulasi adat dan hukum positif untuk kepastian hukum. Penguatan koordinasi antarlembaga guna mencegah tumpang tindih kewenangan dan potensi konflik yurisdiksi.

Pengaturan sanksi adat yang tegas sebagai instrumen pemulihan dan penguatan solidaritas sosial. Optimalisasi instrumen hukum dalam mendukung visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali. Penguatan sistem dokumentasi digital untuk akuntabilitas dan referensi penyelesaian perkara di masa mendatang.

Marhaendra Jaya juga menilai langkah Gubernur Bali bersama Kejaksaan Tinggi Bali yang telah melakukan sosialisasi Raperda ke sembilan kabupaten/kota sebagai bentuk keseriusan.

Proses ini sudah melibatkan partisipasi masyarakat secara menyeluruh sehingga Raperda ini lahir bukan hanya dari kebutuhan hukum dan sosial, tetapi juga dari aspirasi masyarakat Bali,” ujarnya.

Di akhir pandangan umum, ia menegaskan bahwa ketiga fraksi mendukung penuh pengesahan Raperda Bale Kertha Adhyaksa.

“Kami yakin, pengesahan Raperda ini akan menjadi tonggak sejarah dalam memperkuat kedamaian dan kemandirian desa adat di Bali, serta dapat menjadi model nasional bagi daerah lain dengan karakteristik sosial dan budaya serupa,” tutupnya.

Sementara Gubernur Bali Wayan Koster, menekankan bahwa Bale Kerta Adhyaksa ini bukan unsur lembaga Desa adat. Tapi lembag yang berada di wewidangan desa adat. Kalau Lembaga desa adat itu ada Prejuru Desa, Sana Desa, Kerta Desa.

“Bale Kerta Adyakhsa bukan usur Lembaga desa adat, tapi dia merupakan wahana pendamping di desa adat, ” ujarnya.

Ia kembali menekankan terkait bedanya Kerta Desa dan Balai Kerta Adyaksha. Kata Koster Kerta Desa itu menegakan hukum adat di desa adat, seperti awig, parerem.

“Kalau ini (Bale Kerta Adhyaksaa) beda ini, dia tidak mengambil alih kasus di adat. Namun berbagai masalah di desa ada yang pidana ada perdata, katagori ringan bisa di selesaikan di forum ini, ia menjadi Lembaga baru, ” jelasnya.

Hasil keputusan di Balai Kerta Adyaksa ini diakui UU Nomer 1 tahun 2023. Sehingga tidak bisa lagi berlanjut ke lembaga hukum lain.

Terkait keterlibatan usur desa adat, Koster menegaskan kembali, bukan unsur lembaga desa adatnya yang akan terlibat di dalam Bale Kerta Adhyaksa ini, tapi orangnya, yang bisa menjadi bagian didalamnya, bisa prajurunya, bisa tokoh masyarakat, bisa akademisi, yang menjadi anggota di dalamnya.

Sementara Fraksi Gerindra-PSI meminta Raperda Bale Kerta Adhyaksa menjadi perda agar di tunda. Gerindra memberikan sejumlah catatan terkait temuannya dalam pembahasan Raperda itu.

Pandangan tersebut dibacakan oleh Gede Harja Astawa, meski memberikan apresiasi inisiatif pembentuka Bale Kerta Adhyaksa, fraksi menilai perlu sosialisasi yang matang agar tidak menimbulkan reaksi negatif atau tumpang tindih kewenangan dengan lembaga adat yang sudah ada.

Fraksi juga menyoroti pentingnya profesionalisme penegakan hukum berbasis tiga pilar: kecakapan, kejujuran, dan kemerdekaan. Penggunaan istilah “Adhyaksa” dalam nama Raperda dinilai perlu kajian ulang agar lebih netral, mengingat kata tersebut identik dengan Kejaksaan.

Salah satu kritik utama yang disampaikan adalah belum tersedianya Naskah Akademik dan penjelasan pasal demi pasal Raperda. Menurut Fraksi Gerindra–PSI, sesuai ketentuan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dokumen tersebut wajib ada sebelum pembahasan dilanjutkan.

Fraksi juga menemukan sejumlah inkonsistensi dan potensi konflik norma, seperti perbedaan penggunaan istilah “konflik” dan “perkara”, penggunaan istilah “Kertha” yang mengacu pada peradilan adat yang telah dihapus, serta benturan dengan Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat terkait kewenangan Kertha Desa dan Majelis Desa Adat (MDA).

Selain itu, Fraksi Gerindra–PSI mengingatkan bahwa Raperda ini mengacu pada UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang baru berlaku pada 2 Januari 2026. Oleh karena itu, fraksi menyarankan pembahasan Raperda menunggu hingga peraturan pelaksana KUHP baru diterbitkan, sekaligus memastikan sinkronisasi dengan ketentuan pidana adat.

“Tanpa kejelasan dasar hukum, rumusan norma, dan dokumen pendukung yang memadai, pembahasan Raperda ini sebaiknya ditunda agar tujuan pembentukannya benar-benar tercapai,” tutup Gede Harja Astawa.

Rapat paripurna ini membuktikan bahwa membangun sistem hukum adat yang hidup dan relevan memang bukan jalan yang mudah. Namun, dengan komitmen bersama antara pemerintah, DPRD, dan masyarakat adat, Bali berpotensi melahirkan sistem hukum lokal yang mampu berdiri sejajar bahkan memperkaya hukum nasional.

Raperda Bale Kertha Adhyaksa bukan hanya tentang membangun sebuah lembaga. Ini tentang menjaga martabat desa adat, memperkuat keadilan yang berpijak pada akar budaya, dan membangun jembatan antara yang sakral dan formal, antara sekala dan niskala. Sebuah langkah strategis yang patut dikawal, dikritisi, dan disempurnakan bersama.

(080)

123

Check Also

Sekretariat  DPRD  Prov.Bali 

Bali,  Rabu  13 Agustus  2025 Sekretariat  DPRD  Prov.Bali   100

Renungan  Joger

Bali, Rabu 13  Agustus   2025 Renungan  Joger   77