Denpasar, Senin 04 Agustus 2025
Soroti Polemik MDA, Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Hindu Sampaikan 10 Petisi ke DPRD Bali
Bali, indonesiaexpose.co.id – Forum Komunikasi Bhinneka Hindu Bali (FKBHB) yang beranggotakan DPP Parisadha Nusantara Bali, Pimpinan Daerah KMHDI Bali, dan Aliansi Pemuda Hindu Bali (APBH) melayangkan petisi kepada Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali.
Petisi tersebut tertuang dalam surat Nomor 002/FKBHB/VII/2025 tertanggal 4 Agustus 2025 dan ditujukan kepada DPRD Bali guna menyoroti polemik terkait tugas pokok dan fungsi MDA dalam pengukuhan bendesa adat terpilih di Bali.
FKBHB menilai diperlukan langkah pengawasan, harmonisasi hukum, hingga revisi aturan yang mengatur kewenangan MDA agar sejalan dengan keteduhan tata-titi kehidupan masyarakat di Bali sesuai dengan Desa (tempat), Kala (waktu), Patra (keadaan) serta menjunjung tinggi konsep Desa Mawacara, Negara Mawatata.
Rombongan diterima langsung oleh Wakil Ketua III DPRD Bali, I Komang Nova Sewi Putra, didampingi Ketua Komisi I DPRD Bali, I Nyoman Budiutama, serta Ketua Komisi IV DPRD Bali, I Nyoman Suwirta bersama jajaran lainnya.
Ketua Komisi IV DPRD Bali, I Nyoman Suwirta, menyampaikan bahwa forum tersebut menyerahkan sepuluh butir petisi kepada DPRD Bali. DPRD Bali, khususnya Komisi IV dan Komisi I, dalam waktu dekat akan menggelar rapat kerja dengan MDA dan Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) Provinsi Bali.
Namun, sebelum itu, koordinasi dengan Gubernur Bali akan dilakukan sebagai langkah awal.
Sementara itu, Koordinator Forum Komunikasi Bhinneka Hindu Bali, Wayan Sayoga, menjelaskan bahwa tujuan kedatangan forum adalah untuk menyikapi secara serius polemik menyangkut tugas pokok dan fungsi MDA.
Hal ini terutama terkait praktik pengukuhan bendesa adat serta hal-hal lain yang dinilai mendesak dan substansial.
Menurutnya, sepuluh poin petisi yang diajukan dimaksudkan untuk memperbaiki peran dan fungsi MDA Bali, serta mengembalikan keteduhan dalam tata kehidupan masyarakat hukum adat sesuai prinsip-prinsip lokal Bali.
“Kami sangat konsen dengan keamanan, kenyamanan, dan ketenteraman, serta keharmonisan kita di Bali, sehingga sangat penting pertemuan ini dan akan ditindaklanjuti oleh DPRD Bali dengan memanggil Ketua MDA Bali untuk membahas ketidakselarasan antara MDA dengan desa adat,” kata Sayoga.
Sebanyak 10 butir petisi tersebut dijabarkan, yakni forum mendesak DPRD Provinsi Bali segera menjalankan fungsi pengawasannya dengan menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Majelis Desa Adat (MDA) dan Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) Provinsi Bali, guna merespons polemik berkepanjangan yang berkembang di masyarakat.
Hal ini sejalan dengan semangat Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang menekankan substansi pengakuan terhadap masyarakat hukum adat tanpa harus menyebutkan frasa “adat” secara eksplisit.
Forum meminta DPRD dan Gubernur Bali untuk merevisi Perda No. 4 Tahun 2019 dengan menegaskan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai dasar konsiderans “Mengingat”, sehingga keberadaan Perda benar-benar menjadi bentuk rekognisi negara terhadap masyarakat hukum adat, bukan membentuk lembaga baru di bawah kendali kekuasaan.
Sebagai implikasi dari tuntutan revisi tersebut, forum meminta agar MDA segera memperbaiki AD/ART-nya.
Salah satu sorotan utama adalah Pasal 49 ayat 2 dan 3 yang dianggap mengganggu kemandirian dan hak asal-usul desa adat, serta bertentangan dengan konstitusi.
Forum juga menegaskan bahwa AD/ART MDA seharusnya hanya mengikat ke dalam organisasi MDA, dan tidak memiliki kewenangan untuk memberikan perintah kepada prajuru, pecalang, atau instrumen adat lainnya.
Kepemimpinan di MDA pun semestinya diisi oleh tokoh-tokoh yang berasal dari atau pernah menjabat sebagai prajuru desa adat, bukan individu yang tidak memiliki ikatan langsung dengan sistem adat.
Proses pengangkatan bendesa adat juga harus dihormati sebagai hak dan urusan murni desa adat itu sendiri melalui musyawarah sesuai tradisi.
Terakhir, forum meminta agar negara hadir melalui Dinas PMA untuk melakukan pengawasan serta memastikan tertib administrasi, baik dalam naskah AD/ART, surat menyurat, maupun keputusan MDA, agar sesuai dengan sistem kenegaraan berdasarkan KTP yang sah.
Mereka menolak segala bentuk feodalisme dan praktik penyalahgunaan wewenang yang bertentangan dengan prinsip kesetaraan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
(112)