Denpasar, Selasa 8 Juni 2021
Tiga Fraksi Minta BUPDA tidak berbenturan dengan BUMDes
Suasana sidang paripurna DPRD Bali, Senin (7/6/2021).(Foto/Ist)
Bali, indonesiaexpose.co.id – Rapat Paripurna DPRD Provinsi Bali pada Senin, 7/6/2021 mengagendakan Jawaban Gubernur Bali Terhadap Pandangan Umum Fraksi-fraksi atas, Raperda Provinsi Bali tentang Baga Utsaha Padruwen Desa Adat di Bali, dan Raperda Provinsi Bali tentang Perubahan Ketiga Atas Perda Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah.
Gubernur Bali Wayan Koster pastikan Sabha Perekonomian Desa Adat (SAKA) yang bakal mengawasi, mengatur, dan membina Bhaga Utsaha Padruwen Desa Adat (BUPDA) sesuai Ranperda BUPDA, tidak akan intervensi BUPDA. Nantinya, penggunakan kata ‘mengatur’ dalam Pasal 45 draft Ranperda BUPDA akan dikaji lagi, supaya SAKA yang dibentuk Gubernur Bali dan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali posisinya tidak intervensi BUPDA. Tanggapan Gubernur Wayan Koster ini disampaikan melalui Wagub Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace) dalam sidang paripurna bertempat di Ruang Sidang Utama Kantor DPRD Bali, Niti Mandala Denpasar, Senin (7/6/2021) siang.
Sidang paripurna kemarin dipimpin Ketua DPRD Bali Nyoman Adi Wiryatama (dari Fraksi PDIP), didampingi tiga Wakil Ketua DPRD Bali: Nyoman Sugawa Korry (dari Fraksi Golkar), I Nyoman Suyasa (Fraksi Gerindra), dan Tjokorda Gede Asmara Putra Sukawati (Fraksi Demokrat).
Cok Ace mengungkapkan, pihaknya lebih mempertimbangkan penggunaan kata ‘mengatur’ dalam draft Ranperda BUPDA, karena fungsi pengaturan tetap diperlukan untuk hal-hal tertentu.
“Kata mengatur diperlukan kepada hal-hal yang bersifat standarisasi, sebagai acuan dalam pembuatan statistik perekonomian desa adat dan pedoman yang diperlukan dalam rangka efektivitas fungsi sistem perekonomian adat Bali,” tutur Cok Ace.
Menurutnya, terkait pendapat mengenai bentuk dan mekanisme pengawasan yang dilakukan SAKA, sehingga menjadikan BUPDA seolah-olah terkesan terkooptasi oleh eksistensi SAKA, sistem perekonomian adalah integrasi sistematis dari berbagai komponen perekonomian untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem perekonomian harus mempunyai lembaga otoritas yang berfungsi dan bertanggung jawab mengelola sistem melalui pengaturan, pengawasan, dan pembinaan.
“SAKA Bali merupakan lembaga otoritas untuk memastikan sistem perekonomian adat Bali berjalan secara sehat dan profesional. Jadi, SAKA Bali tidak untuk mengkooptasi BUPDA,” tegas tokoh pariwisata asal Puri Agung Ubud, Desa Adat Ubud, Kecamatan Ubud, Gianyar ini.
Cok Ace menjelaskan, pengaturan sumber pendanaan SAKA bersifat alternatif atau komulatif, yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi keuangan pemerintah daerah dan keuangan BUPDA, serta dilakukan pengawasan terhadap pelaksanaannya. Pengaturan yang dilakukan SAKA terbatas pada pemberian pedoman yang diperlukan dalam rangka pengelolaan sistem pemerintahan desa adat di Bali dan sistem perekonomian adat Bali, untuk memastikan semuanya dapat berjalan dengan baik sesuai tujuan pemajuan desa adat dan pemajuan perekonomian desa adat. Terkait konstruksi Pasal 10 Ranperda BUPDA soal posisi BUPDA dengan LPD, menurut Cok Ace, tidak ada pencantuman LPD sebagai bagian dari BUPDA.
” Pasal 10 Ranperda BUPDA hanya mengatur unit-unit usaha milik desa adat. Kami sependapat mengenai perlunya pengaturan usaha-usaha yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), BUPDA, dan masyarakat sebagai rambu-rambu, agar tidak terjadi konflik serta persaingan yang tidak sehat,” papar Cok Ace. Selain merespons pandangan umum Fraksi Golkar, Gubernur Koster melalui Wagub Cok Ace juga merespons pandangan umum Fraksi Gerindra dan Fraksi Demokrat DPRD Bali, yang sama-sama menginginkan BUPDA tidak berbenturan dengan BUMDes.
“Kita sepakat, dalam Ranperda telah diatur bahwa BUPDA dan BUMDes harus bekerja sama dan bersinergi dalam melaksanakan usahanya. Se-bagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2), BUPDA dalam melaksanakan bidang usaha dapat bekerja sama dengan BUMDes atau pihak lain,” terang Cok Ace.
Mengenai posisi pemerintah dalam BUPDA, kata Cok Ace, Pemprov Bali hanya sebagai fasilitator saja. Jika desa adat mengelola sumber daya sejenis/perusahaan daerah yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan seperti Perda atau Perbup, maka posisi pemerintah daerah adalah sebagai fasilitator.
“ Dalam hal BUPDA mengelola fasilitas umum atau usaha milik pemerintah, maka posisi pemerintah daerah adalah sebagai regulator,” tandas mantan Bupati Gianyar 2008-2013 yang juga menjabat Ketua BPD PHRI Bali ini.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Bali dari Fraksi Golkar, Nyoman Sugawa Korry, menambahkan tidak masalah terkait jawaban Gubernur Bali yang akan mengkaji kata ‘mengatur’ dalam Pasal 45 Ranperda BUPDA, supaya SAKA tidak seolah-olah intervensi BUPDA.
Namun, Sugawa Korry mengingatkan kajiannya nanti bisa mencantumkan hal-hal detail dalam pasal penjelasan.
“Silahkan nanti dijabarkan dalam pasal penjelasan. ‘Mengatur’ yang dimaksud itu pengertiannya supaya jelas. Jangan sampai kata mengatur diartikan mengatur kepada hal-hal prinsip, yang justru mengintervensi BUPDA,” sambung Sugawa Korry saat dikonfirmasi seusai sidang paripurna di DPRD Bali, Senin kemarin.
Sugawa Korry menyebutkan, Fraksi Golkar akan mengawal proses pembahasan Ranperda BUPDA di Pansus Ranperda BUPDA DPRD Bali, supaya BUPDA milik desa adat benar-benar lebih independen.
“Nanti akan kita kawal dalam pembahasan lanjutan di Pansus Ranperda BUPDA,” tandas politisi senior asal Desa Banyuatis, Kecamatan Banjar, Buleleng yang juga Ketua DPD I Golkar Bali ini.
(074)