Wednesday , July 2 2025
Home / Bali / Bersama Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Sara Jyoti, Mereformasi Ritual, Mentradisikan Agama, bukan Mengagamakan Tradisi

Bersama Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Sara Jyoti, Mereformasi Ritual, Mentradisikan Agama, bukan Mengagamakan Tradisi

Denpasar, Sabtu  25  Juni  2022

 

Bersama Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Sara Jyoti, Mereformasi Ritual, Mentradisikan Agama, bukan Mengagamakan Tradisi

Bali,  indonesiaexpose.co.id   –   Saat walaka dikenal sebagai Drs. Gede Sara Sastra, M.Si, dengan memimpin Krishna Tour sebagai travel agent perintis Tirta Yatra ke India pertama kali. Sempat sebagai reporter Bali Post dan juga dosen UNHI, pada tanggal 29 Juni 2009 lalu,  didiksa sebagai Sulinggih dengan abhiseka Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti.

Menurut Ida Rsi, Hindu sesungguhnya tidak ada kata harus atau memaksa dalam beryadnya. Kelenturan atau flexible dari ajaran Hindu tercermin juga dengan adanya kata Pemade dalam setiap upakara, yang artinya pengganti. Adu ayam misalnya bisa diganti dengan adu tingkih, babi guling bisa diganti dengan telur guling dan seterusnya.

” Hindu adalah agama yang simple, murah dan flexible, namun karena pengaruh adat dan kebiasaan setempat ditambah dengan kurangnya pemahaman tentang agama yag dimiliki oleh orang yang berpengaruh (pendeta, pemimpin adat yang dituakan) maka pelaksanaan agama akan terasa memberatkan,” ungkap Ida Rsi di Denpasar saat memberikan materi Pedoman Calon Pandita dan Dharmaning Sulinggih,kemarin.

Lanjutnya, upacara sudah disebut sempurna dengan menggunakan Upakara Inti. Kenyataannya sekarang ini yang ditonjolkan justru Banten Ayaban Pengiringnya sehingga akan membebani umat sehingga takut menjadi Hindu bahkan umat Hindu sudah beralih keyakinan seperti yang terungkap dalam penelitian DR Surpi Aryadharma pada sebuah buku Membedah Kasus Konversi Agama di Bali.

Ketika sebuah upacara dilakukan dengan tradisi mula keto atau kuna dresta, yang lebih menonjolkan kemegahan, maka akan menimbulkan penderitaan akibat harus berhutang karena mahalnya biaya upacara dan memaksa diri sesuai tradisi yang disampaikan melalui mula keto tersebut

Beryadnya tidaklah menakutkan justeru sebaliknya menjadi suatu kebahagiaan. Hendaknya upacara dilakukan dengan tulus ikhlas tanpa meninggalkan kesengsaraan di kemudian hari, apalagi sampai menjual tanah warisan.

Untuk gebongan cukup dengan buah lokal, tidak dengan buah impor misalnya mangga, pisang, durian, salak dan ketela yang sudah memenuhi unsur Pancha Rengga.

Untuk pura-pura di luar Bali saat Piodalan upacaranya menyesuaikan dengan budaya setempat, sehingga tidak ada kesan agama Hindu identik dengan budaya Bali, karena Hindu adalah agama universal.

” Pihaknya mengingatkan para peserta, sudah sepatutnya seorang Sulinggih menjadi, Sang Satyawadi, berbicara yang benar dan jujur,Sang Apta, yang dapat dipercaya, Sang Patirthan, tempat menyucikan diri lahir bathin, dan Sang Panadahan Upadesa, menjadi guru sekaligus sandaran bagi masyarakat yang punya masalah hidup,” pungkas Ida Rsi. (A.A.Md Sudarsana/071)

903

Check Also

indonesiaexpose.co.id

Bali, Selasa 01 Juli  2025 75

Renungan Joger

Bali, Selasa  01  Juli  2025 Renungan  Joger 79