Denpasar, Sabtu 30 Juli 2022
Bersama I Gusti Bagus Saputera, Melakoni Jiwa Kshatria
Bali, indonesiaexpose.co.id – Lahir pada tanggal 17 September 1930 dari keluarga Kshatria, I Gusti Bagus Saputera, Ketua Legiun Veteran RI Bali, tidak hanya berhenti sebatas keturunan saja. Pada Zaman Revoulusi bergabung dalam kesatuan kelaskaran Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia, Resimen Ngurah Rai, di bawah pimpinan Letnan Ida Bagus Anom (1945 – 1946). Sempat pula ditunjuk sebagai salah seorang pejuang untuk mengikuti pendidikan “Scout Ranger” di Baturiti selama 3 bulan oleh Pucuk Pimpinan Markas Besar Umum Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia Sunda Kecil saat itu, I Made Widjakusuma.
Pada awal Agustus 1950, terjadi pergolakan hebat di Makassar, khususnya antara tentara KNIL dan APRIS serta Laskar Rakyat. Terjadi pertempuran hebat dari tanggal 5 sampai tanggal 8 Agustus 1950. Sebagai tentara Pelajar, I Gusti Bagus Saputera turut mengambil peran bersama tentara pelajar di bawah pimpinan Baso Ronda menggempur tangsi KNIL Margiet Kamp.
Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1958 menganugerahkan Tanda Jasa kepada I Gusti Bagus Saputera, kesatuan Resimen Ngurah Rai, atas jasanya di dalam perjuangan gerilya berupa piagam dan bintang Gerilya.
Pada Masa Orde Lama, pernah mengemban tugas sebagai Anggota DPRD Bali selama 2 periode dari 1977 sampai dengan 1987, juga sebagai Ketua DPD Serikat Pekerja Seluruh Indonesia dan beberapa tugas lainnya.
Disamping bermain catur, I Gusti Bagus saputera hobby membaca dan menulis. Karya beliau di antaranya Babad Kyai Agung Lanang Dawan, Merdeka Melalui Diplomasi ( Perjuangan Ide Anak Agung Gde Agung) , dan beberapa buku lainnya, disamping beberapa artikel di Balipost. Beberapa buku karya Guruji Anand Krishna menjadi bacaan beliau seperti Bodidharma, Voice of Indonesia, dan lainnya. Saat Apresiasi Buku Voice of Indonesia di RRI I Denpasar, Gusti Bagus Saputera sempat hadir, berbaur dengan peserta lainnya. Bahkan saat peresman Graha Indonesia Jaya yang yang saat ini dikenal sebagai Anand Krishna Center, beliau menyempatkan diri untuk hadir pula.
Ada cerita unik dibalik terbitnya buku Merdeka Melalui Diplomasi. Saat itu 2 ajudan yang mengaku diutus oleh Menteri Pariwisata Anak Agung Gede Agung, yang juga sebagai putra dari Mr. Ida Anak Agung Gede Agung. Salah seorang ajudan bertanya apakah Bapak menteri yang datang ke rumah atau I Gusti Bagus Saputera yang datang menemui menteri di sebuah hotel. Walaupun merasa lebih tua dari Bapak menteri, namun karena sudah lengser dari kursi Kshatria di pemerintahan, dengan humblenya beliau menemui menteri, yang “setengah memaksa” memintanya untuk menulis buku tentang perjuangan Ayahanda, sehingga lahirlah buku Merdeka Melalui Diplomasi tersebut.
Sebagai pejuang di 4 jaman, Zaman Belanda, Zaman Jepang, Orde Lama serta Orde Baru, saat ini beliau dipercaya oleh pemerintah untuk memberikan wacana tentang kebangsaan di lingkungan perguruan tinggi. Metro TV juga mempercayai beliau sebagai nara sumber salah satu acara bertajuk Melawan Lupa, yang mengulas Perjuangan Pahlawan I Gusti Ngurah Rai di Bali.
I Gusti Bagus Saputera nampak bersemangat menanamkan nilai-nilai kepahlawanan sembari sesekali berbahasa Belanda dengan fasih.
” Menjadi seorang Kshatria di Zaman now tidaklah cukup dengan berdasarkan keturunan semata, namun juga semestinya melakoni peran tersebut dalam keseharian hidup. Dengan melakoni peran Kshatria, mau tidak mau peran Wesia atau pedagang/wiraswasta/pengusaha dan sejenisnya mestinya harus ditinggalkan. Kalau tidak, kita bisa terjerumus menjadi “Kshtria Magang” alias Kshatria Bermental Dagang, sehingga kursi jabatan pun diperdagangkan untuk memperkaya diri. Menjadi Kshatria berarti menyerahkan seluruh jiwa dan raga demi Ibu Pertiwi demi kesejahteraan rakyat,” ungkap I Gusti Bagus Saputera di acara Perayaan 58 tahun Persatuan Istri Veteran Se Bali yang diketuai Nyonya Ida Ayu Masri Ratja, kemarin.
Saat ini masih ada saja masyarakat yang menafsirkan Varna secara kurang tepat. Ke empat Varna yakni Brahmana atau pendidik, Kshatria atau abdi negara, Wesia atau pedagang/pengusaha dan Sudra atau pekerja , sesungguhnya merupakan satu kesatuan untuh dalam sebuah negara atau tatanan masyarakat. Bahkan di negara maju seperti Amerika, ke empat peran ini masih eksis. Tidak ada yang lebih rendah atau tinggi satu dengan lainnya. Sebagaimana sosok manusia dengan kepala atau otak, dada atau jantung, tangan dan kaki adalah satu kesatuan utuh. Dapatkah kepala berkarya sendiri tanpa dada, tangan dan kaki? Atau sebaliknya dapatkah kaki berjalan tanpa kepala, dada, tangan dan kaki?
Prof Ngurah Nala dalam Warta Hindu Dharma edisi 1990-an silam mengungkapkan bagaimana peran-peran itu malah sangat begitu dinamis. Mengambil seting Wana Parwa, Yudistira menjelaskan kepada Bima: ‘ saat kau melayani kakakmu kau adalah seorang Sudra, saat kuminta kau melawan musuh kau adalah Kshatria, saat kuminta Arjuna memimpin upacara, dia adalah seorang Brahmana.
Apakah kita sudah melakoni peran kita sebagaimana mestinya berdasarkan Dharma?
(A.A.Md Sudarsana/071)