Friday , September 22 2023
Home / Bali / Makna  Galungan dan  Lahirnya  Tri  Sadaka

Makna  Galungan dan  Lahirnya  Tri  Sadaka

Gianyar, Kamis  08  Juni  2023

Makna  Galungan dan  Lahirnya Tri  Sadaka

 

Foto Ida Bagus Rai Djendra

 

Bali,  indonesiaexpose.co.id  –  Dua bulan lagi, tepatnya tanggal 2 Agustus 2023, umat Hindu merayakan hari raya Galungan. Umum mengetahui perayaan ini sebagai simbul kemenangan Dharma melawan Adharma. Namun tidak banyak umum tahu sejak Kapan “Hari Raya GALUNGAN” DI RAYAKAN…???

Untuk menjawab pertanyaan ini, wartawan Indonesiaexpose.co.Id, mendatangi Gerya Gede Kawan Gianyar, bertemu dengan Ida Bagus Rai Djendra atau sering dipanggil Kakyang Rai.

Kakyang Rai menjelaskan, menurut Lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan :

“Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya”. Artinya: Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama kali adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali saat itu digambarkan bagaikan di Indra Loka.

Masih menurut Kakyang Rai, sejak saat itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali dengan meriah. Namun setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba – tiba — entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan.

Lebih lanjut dijelaskan, Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti – henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.

Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan oleh Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu.

Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat – pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih.

Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau “bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan.
Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali melaksanakan perayaan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).

Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.

Kakyang Rai memberi catatan, sebagai bahan pertimbangan tambahan untuk pemahaman makna dari perayaan Hari Raya Galungan. Sesuai penelitian yang dilakukan dan tutur ceritra turun temurun para orang tua menunjukkan bahwa para leluhur kita di jaman masyarakat Bali Kuno sebelum kedatangan Resi Markendya sekitar abad ke 6 _ 7 masehi , telah melaksanakan perayaan hari raya Galungan dalam bentuk yang masih sangat sederhana sebagai wujud penghormatan serta matur suksme terhadap para leluhur.

Galungan atau ngegalung yang dapat diartikan bersenang2/ bergembira dilakukan setiap 6 bulan sekali (7 bulan kalender) setelah musim panen. Kenapa dilakukan 6 bulan sekali?

Karena dijaman itu mayoritas masyarakat Bali hidup sebagai petani dan peternak, dimana benih padi yang ditanam baru bisa dipanen setelah berumur 6 bulan demikian pula terhadap ternak babi yang dipelihara dari kucit butuh waktu setelah 6 bulan menjadi celeng yang siap dipotong. Jadi perayaan Galungan ditradisikan dilaksanakan setiap 6 bulan Bali sekali sebagai bentuk matur suksme serta penghormatan kepada para leluhur yang diyakini karena beliaulah kita bisa berhasil.

Dari makna perayaan galungan untuk penghormatan para leluhur berkembanglah/bertambah ke pemujaan -pemujaan banyak aliran/sekte yang dibawa serta oleh para pengikut Resi Markendya yang datang sekitar abad ke 6 – 7 Masehi. Sekte2 utama sebanyak 9 sampradaya pada waktu itu : Siwa Sidhanta, Pasupate, Bhairawa, Wesnawa, Budha Saugatha, Brahmana, Resi, Sora dan Ganapatya. Nah setelah kedatangan Empu Kuturan sekitar abad ke 10 , dileburlah sekte2 itu menjadi Tri Sadaka yaitu Siwa, Buda dan Waisnawa.

Empu Kuturan mulai memperkenalkan konsep pemujaan Trimurti di Kayangan Tiga sebagai wujud kebersamaan dalam masyarakat disetiap desa : di Pure Desa di puja Brahma, di Pure Puseh dipuja Wisnu dan di Pure Dalem dipuja Siwa (Durgha Sakti Siwa). Selanjutnya di era kedatangan Danghyang Dwijendra pada masa kejayaan kerajaan Gelgel dibawah Raja Watu Renggong , perayaan Hari Raya Galungan mendapatkan makna/dimaknai secara lebih luas bersifat Hindhu Universal sebagai Kemenangan Dharma melawan Adharma layaknya seperti perayaan Divali di India.

Kedatangan Danghyang Dwidjendra/ Danghyang Nirarthe memang membawa pengaruh besar di masyarakat Bali, terutama dengan konsep penyatuan Siwa Budha serta pemujaan Padma Sana sebagai simbul alam semesta linggihnya Siwa Budha.

Untuk pemberian makna yang lebih universal Hindhu terhadap Hari Raya Galungan sebagai Kemenangan Dharma melawan Adharma maka disusunlah kisah pertempuran Betara Indra simbul Dharma melawan Raja Mayadenawa simbul Adharma, mirip pertempuran Sri Rama melawan Raja Rahwana dimana kembalinya Sitha dirayakan sebagai Divali di India dan demikian pula seperti kisah Mahabaratha pertempuran Pandawa simbul Dharma melawan Kurawa simbul Adharma. Jadi di Bali masyarakat kita memahami makna perayaan hari raya Galungan sampai sekarang sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan sebagai hari kemenangan Dharma atas Adharma.
Semoga Bali tetap ajeg, tentram dan damai, tutup Kakyang Rai.

(072)

210

Check Also

5.000 lebih Karangan Bunga Untuk Bupati-Wabup Gianyar yang Akhiri Masa Jabatan

Gianyar, Rabu  20  September  2023 5.000 lebih Karangan Bunga Untuk Bupati-Wabup Gianyar yang Akhiri Masa …

Stadion Debes Memerah, Tabanan Ungguli Karangasem di Babak Penyisihan Liga Kampung Sepak Bola PDI Perjuangan

Tabanan , Rabu  20  September  2023 Stadion Debes Memerah, Tabanan Ungguli Karangasem di Babak Penyisihan …