Kuta, Sabtu 28 September 2024
Melestarikan Budaya Nusantara
Budaya merupakan kombinasi dari dua kata: Budhi, yang artinya “pikiran yang jernih,” dan Hridaya, artinya hati yang lembut. Pikiran yang jernih lebih lanjut disebut intelegensia – bukan pengetahuan intelektual pinjaman – tapi intelegensia atau kebijaksanaan berdasarkan pengalaman pribadi dalam hidup.
(Guruji Anand Krishna dalam Vedanta, Memaknai Kembali Hindu Dharma)
Bali, indonesiaexpose.co.id – Pariwisata di Bali yang berkembang demikian pesat dan mendunia, harus kita akui telah mampu memberikan kontribusi bagi masyarakat Bali, khususnya dalam bidang ekonomi dan sisi kehidupan lainnya. Semaraknya upacara di Bali yang awalnya penuh dengan kesederhanaan, belakangan terlihat semakin mewah dengan biaya yang tentu tidak murah.
Namun di balik perkembangan pariwisata dan gemerlapnya upacara di Bali, ada gambaran memilukan tentang kondisi masyarakat baik secara fisik maupun kejiwaan masyarakat Bali, di samping menyangkut kondisi alam Bali yang semakin mengkhawatirkan disebabkan adanya alih fungsi dan alih kepemilikan tanah yang sangat tinggi.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menempatkan Bali sebagai provinsi terbesar dalam menyumbang angka gangguan kejiwaan. Ini sungguh gambaran yang menyedihkan di balik gemerlap pariwisata dan meriahnya upacara keagamaan yang dilaksanakan umat Hindu di Bali.
sebuah artikel berjudul Manusia Bali, Bunga, Pangan, yang tayang di salah satu media cetak di Bali pada 15 Juni 2008 lalu, tokoh spiritual Gurujii Anand Krishna sudah mengingatkan bahwa Bali sebelum tahun 1930-an sesungguhnya dikenal dunia sebagai pemasok kelapa dan kelapa sawit nomor satu. Para pedagang datang dengan kapal kosong dan pulang dengan kapal berisikan hasil bumi yang mereka jual dengan harga sangat tinggi di pasar internasional. Mereka akhirnya mulai berpikir tentang cost efficiency. Awalnya mereka mengajak teman-teman mereka untuk berkunjung ke Bali dengan biaya yang sangat rendah, asal kapal mereka tidak kosong. Kemudian, pada tahun 1930, datanglah rombongan wisatawan pertama. Inilah awal organized tourism. Jumlah mereka yang berkunjung mencapai 100 orang.
Saat itu pariwisata merupakan bonus bagi Bali, sama sekali tidak tergantung pada tourisme. Pun tidak tersedia fasilitas yang memadai, namun para wisatawan manca negara senang dengan apa saja yang mereka peroleh di Bali. Inilah genre wisatawan yang sopan, santun, terpelajar, berpendidikan, dan cinta Bali. Hingga saat ini pun tulisan-tulisan mereka masih menjadi acuan ilmiah bagi studi manapun tentang Bali.
Ditemui Kamis Pagi, 26 September 2024 di Discovery Kartika Plaza Hotel Kuta Bali, dalam acara Rakor Biro Korwas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) 2024 yang diselenggarakan oleh Mabes Polri, Shri Sarvananda Dharma mengamini apa yang menjadi pandangan Gurujii Anand Krishna yang telah menulis hampir 200 buku.
Sebagai pembaca setia buku-buku Guruji sejak 1997 dan sekaligus kolektor lengkap buku-buku beliau, Shri Sarvananda Dharma mengungkapkan bahwa hampir semua buku Guruji Anand Krishna baik dalam Bahasa Inggris atau Indonesia, mengingatkan kita semua sebagai anak bangsa betapa pentingnya untuk menjaga dan melestarikan adiluhung budaya bangsa, karena hanya dengan cara itu akan mampu merekatkan kita sebagai satu bangsa.
“Itulah sebabnya ketika bertemu dengan tokoh-tokoh penting yang datang ke Bali, saya berusaha memberikan kenang-kenangan buku karya Guruji, sebagai bentuk apresiasi saya kepada sang tokoh, sekaligus berbagi pengetahuan/kebijaksanaan yang banyak terkandung dalam setiap karya Guruji, dengan tema yang demikian beragam, melampaui sekat-sekat keyakinan dan bernilai universal,”ungkapnya.
Buku Kearifan Lokal Bali yang diberikan kepada Prof. Dr. Topane Gayus Lumbuun, SH, MH, sebagai pembicara/panelis dalam Rakor Biro Korwas PPNS dan Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej SH, M.Hum sebagai Keynote Speaker, penuh dengan petuah-petuah dalam ungkapan khas Bali yang sangat relevan dengan kehidupan di era kekinian, dengan kata Pengantar dari Dr. I Dewa Gede Palguna, SH. M.Hum.
Menurut Shri Sarvananda Dharma, mengaplikasikan budaya Nusantara atau Budaya Bali dalam keseharian bisa dimulai dari hal-hal kecil. Berdasarkan pemahamannya dari membaca buku-buku Guruji Anand Krishna, ada 3 hal praktis yang bisa kita lakoni. Pertama, dari salam yang kita pakai cukuplah dengan satu salam yang mencerminkan kebersamaan sebagai satu bangsa.
Rahayu, Salam Indonesia, Salam Nusantara atau ungkapan apapun lainnya. Apalagi diungkapkan dengan mencakupkan kedua telapak tangan dengan posisi Anjali Mudra yang memiliki makna, aku menyembah Dia yang satu adanya yang ada dalam dirimu. Itu sungguh salam yang luar biasa. Kedua, seperti yang dicontohkan dalam acara Rakor Korwas. Seluruh peserta sekitar hampir 200 orang, khususnya para pria mengenakan ikat kepala khas Bali (udeng) sebagai apresiasi atas Budaya Bali yang adiluhung yang sekaligus sebagai Budaya Nusantara, dimana secara singkat dapat dijadikan satu kalimat: Bhinneka Tunggal Ika. Terlebih lagi saat itu masih dalam suasana hari Raya besar Hindu di Bali yakni Galungan, yang merepresentasikan kemenangan Dharma melawan Adharma. Ketiga, hentikan segala bentuk impor yang tidak perlu, khususnya di bidang pangan. Kita tidak kekurangan apapun jika mau mengelola dengan baik kekayaan alam yang masih kita miliki.
Shri Sarvananda Dharma juga mengingatkan, di Hari Raya Galungan ini untuk belajar dari filosofi Penjor, makin tinggi makin merunduk. Penjor juga merepresentasikan kedekatan kita dengan alam dimana sarananya memakai apa yang ada sekitar kita, bukan mengada-adakan. Hampir semua sarana yang dipakai dalam penjor adalah merupakan hasil bumi yang sangat mudah didapat.
Bali sebagai pewaris Budaya Nusantara yang masih teguh memegang tradisi luhur warisan para pendahulu, sangat mujur dianugerahi dengan keindahan alamnya, sehingga sering dijadikan ajang pertemuan baik pada tingkat lokal, nasional maupun global. Adalah tugas mulia kita bersama untuk melestarikan budaya adiluhung itu untuk Bali Lebih Baik dan menuju Indonesia Jaya. Kembali ke jati diri bangsa, kembali kepada kekuatan budaya yang menjadi fondasi kita dalam bernegara, berbangsa dan sekaligus bermasyarakat.
(071)