Wednesday , August 6 2025
Home / Bali / Hukum Disandera Politik? Polemik Amnesti dan Abolisi di Tengah Konsolidasi Kekuasaan

Hukum Disandera Politik? Polemik Amnesti dan Abolisi di Tengah Konsolidasi Kekuasaan

Denpasar, Minggu  03  Juli  2025

Hukum Disandera Politik? Polemik Amnesti dan Abolisi di Tengah Konsolidasi Kekuasaan

 

 

Bali,  indonesiaexpose.co.id  –  Polemik pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Lembong memantik kritik dua tokoh hukum nasional. Di tengah kecurigaan barter politik, pertanyaan besar pun mengemuka: ke mana arah negara hukum Indonesia? Gelombang kritik atas keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Lembong tidak berhenti hanya pada ruang media sosial. Dari ruang akademik dan komunitas hukum, muncul kegelisahan yang cukup dalam. Dua nama besar di dunia hukum, Prof. I Dewa Gede Palguna, mantan hakim Mahkamah Konstitusi, dan Dr. Made Hendra Kusuma, mantan hakim Tipikor, menyampaikan pandangan mereka secara terang-terangan.

Meski keduanya tidak meragukan konstitusionalitas tindakan Presiden, namun kritik utama mereka adalah pada integritas proses hukum dan kemungkinan adanya intervensi politik dalam penegakan hukum. Pasal 14 UUD 1945 secara eksplisit memberikan kewenangan kepada Presiden untuk memberikan amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR. Maka, secara normatif, keputusan Presiden Prabowo tidak bisa dikatakan melanggar hukum.

” Yang menjadi soal adalah konteks dan muatan politik yang menyertai. Hukum seperti dijadikan mainan. Proses hukum dijalankan, orang divonis, lalu dibatalkan secara politik,” ungkap Prof. Palguna saat ditemui di Denpasar.

Lebih lanjut, ia mempertanyakan kualitas pembuktian dalam kasus Hasto yang dinilai masih “debatable”, karena asal uang yang disebut sebagai suap belum terbukti beyond reasonable doubt. Tak berselang lama dari keluarnya keputusan Presiden, Kongres PDIP mengumumkan dukungan resmi kepada pemerintahan Prabowo Subianto. Ini memperkuat spekulasi publik bahwa keputusan amnesti dan abolisi adalah bagian dari barter politik.

Prof. Palguna menyindir tajam, “Kalau logika ini dipakai, semua pengikut Adam Smith di Indonesia bisa dipidana.” Hal ini dinilai sebagai bahaya baru dalam praktik hukum Indonesia, di mana orientasi ideologi ekonomi seseorang bisa menjadi dasar pemidanaan. “Ini bukan sekadar kelemahan hukum, ini ancaman terhadap demokrasi dan kebebasan berpikir,” tambah Palguna.

Prof. Palguna menyentil mandeknya RUU tentang Grasi, Amnesti, dan Abolisi. Hingga hari ini, belum ada undang-undang yang secara spesifik mengatur prosedur teknis dan batas pemberian kewenangan konstitusional Presiden. “Yang sibuk dibahas DPR hanyalah undang-undang yang menguntungkan penguasa atau elite politik,” sindir Palguna. Kekosongan ini membuat pemberian amnesti dan abolisi tak memiliki standar transparansi dan akuntabilitas yang bisa diuji publik.

Dr. Made Hendra Kusuma

 

Sementara di tempat berbeda, Dr. Made Hendra Kusuma berbeda pendapat, proses hukum terhadap Hasto dan Tom Lembong telah melalui tahapan hukum yang sah, termasuk uji praperadilan.Penyidik dan penuntut umum pasti sudah punya bukti kuat untuk membawa kasus ini ke pengadilan.

“Biarkan perkara tetap berjalan sampai tingkat Mahkamah Agung. Di situ kita bisa uji bagaimana integritas hakim kita sebenarnya,”ungkapnya.

Salah satu bagian yang disorot tajam adalah pertimbangan putusan terhadap Thomas Lembong, yang menyebut bahwa ia bersalah karena menganut liberalisme ekonomi.

Di akhir wawancara, Dr. Made Hendra Kusuma melontarkan refleksi keras: “Katanya negara hukum, tapi hukum justru tersandera politik. Quo vadis negara hukum Indonesia? Beri kesempatan hukum berjalan dulu, biar Mahkamah Agung membuktikan apakah mereka masih punya integritas,” tutup Dr. Made.

Sementara itu, Shri Sarvananda Dharma, mantan Direktur LBH Manusia Merdeka, menekankan bahwa akar dari hampir semua kontroversi hukum di Indonesia adalah integritas aparat penegak hukumnya sendiri.

Ia mengutip adagium klasik dari Taverne: “Beri aku polisi yang baik, jaksa yang baik, hakim yang baik, maka dengan undang-undang yang jelek pun aku bisa membuat putusan terbaik.”

lanjutnya, berapa banyak aparat penegak hukum yang berintegritas seperti Albertina Ho atau mantan Kapolri Hoegeng? Sangat langka. Selebihnya terjebak dalam pusaran kekuasaan, kompromi, dan ketakutan.Bagi Sarvananda, akar masalahnya lebih mendalam: gagalnya sistem pendidikan nasional dalam melahirkan manusia merdeka.

“Kita gagal mencetak pribadi yang utuh, berkarakter, dan berani jujur. Padahal, pendidikan seharusnya melahirkan hakim, jaksa, polisi yang bukan hanya cerdas, tapi juga memiliki integritas dan nurani.” Ia mengajak semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat sipil, untuk duduk bersama merumuskan ulang arah pendidikan dan reformasi hukum. “Ini tanggung jawab kolektif. Tidak bisa hanya diserahkan kepada elite,” pungkasnya.

Polemik ini bukan hanya tentang dua tokoh yang diberi pengampunan hukum, tetapi tentang masa depan supremasi hukum di Indonesia. Kritik dari para tokoh di atas menunjukkan bahwa masih ada suara nurani yang ingin menempatkan hukum sebagai pengayom, bukan alat barter.

Hukum yang kuat bukan hanya soal teks UU, melainkan keberanian manusia di dalamnya untuk berdiri tegak meski menghadapi badai kekuasaan. Di sinilah pertaruhan besar kita sebagai bangsa: maukah kita membangun negara hukum yang sungguh-sungguh?

(071)

264

Check Also

USG dan Pemeriksaan Gigi Gratis, Upaya Nyata Sehatkan Ibu Hamil di Desa Pelaga Badung.

Badung, Rabu 06 Agustus 2025 USG dan Pemeriksaan Gigi Gratis, Upaya Nyata Sehatkan Ibu Hamil …

Sinergi Kejari dan Pemkot Denpasar Launching Program PASTI

Denpasar,  Selasa  05  Agustus   2025 Sinergi Kejari dan Pemkot Denpasar Launching Program PASTI   Sekda …