Denpasar, Senin 03 Pebruari 2025
DPRD Bali Tampung Aspirasi Warga Desa Adat Jimbaran
DPRD Provinsi Bali menerima aspirasi warga Desa Adat Jimbaran sengketa tanah 280 hektar, di Kantor Sekretariat DPRD Provinsi Bali, Senin, 3 Pebruari 2025.
Bali, indonesiaexpose.co.id – Mengingat, sebelumnya tanah warga Desa Adat Jimbaran dikuasai oleh sejumlah Perusahaan Terbatas (PT), yang hingga saat ini kondisinya masih terlantar.
Tidak tanggung-tanggung, mereka yang tergabung dalam Kesatuan Penyelamat Tanah Adat atau Kepet Adat Jimbaran menyampaikan aspirasi ke Wakil Rakyat di Kantor Sekretariat DPRD Provinsi Bali, Senin, 3 Pebruari 2025.
Aspirasi warga Desa Adat Jimbaran diterima Wakil Ketua III DPRD Provinsi Bali I Komang Nova Sewi Putra, Ketua Komisi I DPRD Provinsi Bali Nyoman Budi Utama, Sekretaris Komisi I DPRD Bali I Nyoman Oka Antara dan Anggota Komisi I DPRD Bali Gede Harja Astawa.
Wakil Ketua III DPRD Provinsi Bali I Komang Nova Sewi Putra mengatakan, pihak DPRD Bali bakal memanggil pihak-pihak terkait, baik pihak Pertanahan Nasional (BPN), Biro Hukum Setda Provinsi Bali, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Bali hingga Investor serta pihak-pihak terkait lainnya.
” Kami selaku wakil rakyat menyerap aspirasi warga Desa Adat Jimbaran terkait masalah asal usul tanah dan lain sebagainya,” ungkap Komang Sewi.
Sementara, Ketua Komisi I DPRD Bali Budi Utama menyebutkan, pihaknya selaku Ketua Komisi I DPRD Provinsi Bali bakal mempelajari dan mengkaji aspirasi tersebut, bahkan meminta melengkapi berkas-berkas, agar dokumen lengkap.
“Apapun nanti itu, yang menjadi aspirasi warga Desa Adat Jimbaran dilengkapi dengan dokumen-dokumen itu, kami akan kaji,” kata Budi Utama.
Bahkan, pihaknya selaku Ketua Komisi I DPRD Provinsi Bali bakal mempelajari dan mengkaji aspirasi tersebut, bahkan meminta melengkapi berkas-berkas, agar dokumen lengkap.
“Kami akan pelajari dulu, kalau memang ada berkas dokumen kurang, maka kami akan melakukan koordinasi untuk melengkapi,” terangnya.
Sebuah gugatan hukum resmi diajukan oleh Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (Kepet Adat) Jimbaran terhadap sejumlah perusahaan dan lembaga pemerintah yang dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) atas lahan seluas 280 hektar.
Gugatan ini diajukan juga oleh Perwakilan Penerima Mandat, I Wayan Bulat, S.H., bersama Tim Kuasa Hukumnya di Pengadilan Negeri Denpasar, Senin, 3 Pebruari 2025.
Disebutkan, bahwa perpanjangan HGB yang dilakukan sejak 2010 sarat dengan penyalahgunaan wewenang dan tidak sesuai dengan peraturan tentang tanah terlantar.
Sebelum sidang, Warga yang tergabung dalam Kesatuan Penyelamat Tanah Adat atau Kepet Adat Jimbaran menyampaikan aspirasi ke Wakil Rakyat di Wantilan DPRD Provinsi Bali, Senin, 3 Februari 2025.
Sejarah Panjang Sengketa, menurut pihak penggugat, pada 1994, tanah ini dibebaskan oleh Pemerintah dengan alasan kepentingan umum, tetapi dalam prakteknya justru digunakan untuk kepentingan bisnis beberapa perusahaan swasta. Pembebasan ini bahkan dilakukan dengan cara represif, termasuk penggunaan aparat keamanan untuk mengusir warga.
Pada th 2010 lalu, Pemerintah memperpanjang HGB atas tanah tersebut dengan dalih mendukung penyelenggaraan KTT APEC 2013. Namun, hingga kini, lahan tersebut sebagian besar tetap terbengkalai dan tidak digunakan sebagaimana mestinya.
“Kami menolak perpanjangan HGB yang tidak sah dan dilakukan tanpa mempertimbangkan status tanah sebagai tanah terlantar,” kata I Wayan Bulat.
Melalui Tim Kuasa Hukumnya, warga Jimbaran menggugat sejumlah pihak, termasuk PT Jimbaran Hijau, PT Citratama Selaras, serta Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Bali.
Gugatan ini menyoroti berbagai pelanggaran, mulai dari pembebasan tanah dengan kekerasan, penerbitan sertifikat yang tidak sah, hingga praktik penelantaran lahan oleh pihak-pihak terkait.
Dalam tuntutannya, penggugat meminta pengadilan untuk:
1. Membatalkan perpanjangan SHGB yang dianggap melanggar hukum.
2. Mengembalikan tanah kepada pemilik hak lama dan masyarakat adat.
3. Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara serta memberikan kompensasi kepada warga terdampak.
Sidang perdana perkara ini diharapkan bisa menjadi preseden penting dalam perlindungan hak-hak masyarakat adat atas tanah mereka.
(080)