Denpasar, Jumat 05 Juli 2024
Perjalanan Seni Kelompok 7 Terekam dalam Pameran ‘Pinara Pitu’ Hadir di Griya Santrian
Bali, indonesiaexpose.co.id – Tiga puluh tahun lebih sudah kebersamaan mereka sejak terakhir kali berpameran sebagai kelompok pada tahun 1991. Kini Kelompok 7 memutuskan berjumpa kembali dalam pameran yang berjudul “Pinara Pitu”. Oleh kelompok 7 pameran ini tidak hanya dimaknai sebagai pameran reuni biasa, namun ada pula hal-hal yang ingin mereka bagikan kepada publik seni rupa Bali.
Perupa Bali dari Kelompok 7 kembali melakukan pameran dengan tajuk ‘Pinara Pitu’ di Santrian Art Gallery, Sanur, Denpasar, 5 Juli sampai 30 Agustus 2024.
Ketujuh perupa adalah I Made Djirna, Nyoman Erawan , Made Budhiana, Nyoman Wibawa, Made Sudibia, Made Bendi Yudha, Made Ruta, yang sudah dikenal luas publik seni rupa di Bali.
Kurator dari Gurat Institute Savitri Sastrawan mengatakan pameran ini tidak hanya dimaknai sebagai pameran reuni biasa, namun ada pula hal-hal yang ingin mereka bagikan kepada publik seni rupa Bali.
“Sebuah arsip, sebuah catatan perjalanan tentu bukan hanya rekaman-rekaman yang mengajak kita bernostalgia. Apa yang bisa kita lihat dari sebuah arsip adalah sebuah data, pembelajaran tentang masa lalu untuk menatap masa kini,” ujarnya saat pembukaan pameran, Jumat (5/7/2024) petang.
Kehadiran Kelompok 7 sebagai sub kelompok berbasis angkatan dalam tubuh komunitas mahasiswa Bali di ISI Jogja atau SDI (Sanggar Dewata Indonesia) kala itu merupakan sebuah tradisi baru yakni adanya pola pergerakan yang lebih ramping dalam tubuh SDI muncul pada generasi 80an.
Kelompok 7 menjadi tonggak penting dan menginspirasi angkatan-angkatan sesudahnya untuk memulai sebuah tradisi berkelompok dalam tiap angkatan di tubuh SDI
“Kelompok 7 hadir dengan artistik yang lebih beragam sebagai hasil dari pencerapan mereka secara akademik dan persinggungan mereka dengan kebudayaan di luar Bali yakni Yogyakarta sebagai tempat perjumpaan perupa dari lintas wilayah di Indonesia,” kata Savitri.
Kecenderungan karya yang lebih eksperimental, pengolahan atas material dan eksplorasi-eksplorasi non representasional menjadi tawaran artistik ‘baru’ bagi medan sosial seni kala itu. Hal ini juga memberi inspirasi dan memantik para perupa muda Bali kala itu untuk menghadirkan eksplorasi yang lebih beragam dan dinamis.
“Sehingga kehadiran mereka kini untuk berpameran kembali sebagai sebuah kelompok akan sangat sayang jika hanya dimaknai sebagai sebuah pameran reuni yang penuh romantisir maupun eksotisnya nostalgia masa lalu antar anggotanya,” kata Susanta Dwitanaya yang juga menjadi kurator dalam pameran ini.
Susanta menjelaskan, Pinara Pitu diambil dan dimaknai secara lebih dinamis dari sebuah konsep Genta Pinara Pitu dalam teks Lontar Prakempa dan Aji Gurnita sebuah teks Bali yang membahas tentang suara, musik dalam filosofi Bali. Genta Pinara Pitu adalah sebuah konsep yang menguraikan tentang filosofis tujuh suara alam semesta yang berevolusi menjadi nada instrumental berbagai gamelan Bali.
“Dalam konsep Pinara Pitu setiap nada dan warna suara yang dihasilkan berasal dari suara-suara yang terlahir di lima unsur alam (Panca Maha Bhuta) yang berevolusi menjadi tujuh karakter nada yang mewakili lima karakter unsur alam semesta,” ujarnya.
Konsep keberagaman warna dan karakter suara ini dalam konteks pameran Kelompok 7 dapat dimaknai sebagai tujuh karakter visual, artistik, konsep dan cara pandang ketujuh eksponen Kelompok 7 kini, setelah empat dekade mengarungi dunia kesenirupaan dengan pilihan cara berkarya masing-masing baik sebagai pelaku seni maupun sebagai pendidik seni.
Malam itu dihadiri ratusan pengunjung yang memadati galeri yang berada di tengah-tengah hotel dan villa itu. Pameran terasa beda dari biasanya karena orang- orang yang hadir kebanyakan tokoh, pelaku dan pecinta seni.
Diawali dengan suguhan musik dari composer Gde Yudane dan pembacaan puisi oleh Mira. Pameran ‘Pinara Pitu’ dibuka oleh Prof. Dr. I Wayan “Kun” Adnyana didampingi General Manager Griya Santrian Resort and Spa Ida Bagus Gede Sidharta Putra dan pemilik Museum Rudana.
Pada awal dekade 1990an dinamika aktivitas kolektif pada perupa di Bali belum begitu jamak dilakukan terlebih bagi para perupa yang terlahir dari bangku akademik. Kelompok-kelompok perupa di Bali pada masa itu lebih didominasi oleh kelompok perupa yang bergerak secara inisiatif dan otodidak dan membentuk beberapa kelompok. Secara artistik apa yang dihadirkan kelompok-kelompok tersebut masih berfokus pada satu gaya atau kecenderungan visual seperti realistik maupun naturalistik yang mengangkat objek dan landscape Bali sebagai tema yang tampak dominan.
(080)