Monday , November 17 2025
Home / Bali / Pansus TRAP DPRD Bali Dalami Konflik Tanah Negara Jimbaran: Petani Vs PT Jimbaran Hijau Sejak 1994

Pansus TRAP DPRD Bali Dalami Konflik Tanah Negara Jimbaran: Petani Vs PT Jimbaran Hijau Sejak 1994

Denpasar, Rabu  05  Oktober  2025

Pansus TRAP DPRD Bali Dalami Konflik Tanah Negara Jimbaran: Petani Vs PT Jimbaran Hijau Sejak 1994

 

Bali,  indonesiaexpose.co.id  – Konflik panjang antara petani penggarap dengan perusahaan PT Jimbaran Hijau kembali menjadi sorotan. Pansus TRAP DPRD Bali kini turun tangan melakukan pendalaman dan pengumpulan data, demi menyelesaikan sengketa tanah negara yang telah berlarut sejak tahun 1994.

Puluhan  masyarakat Desa Adat Jimbaran  melakukan aksi kirab budaya ke sejumlah instansi pemerintah dan menyampaikan Aspirasi ke Gedung DPRD Provinsi Bali, Denpasar Rabu (5/11/2025) siang, terkait penguasaan lahan adat dan pembatasan akses ke pura yang telah berlangsung lebih dari satu dekade.

Aksi ini merupakan tindak lanjut dari surat resmi Desa Adat Jimbaran Nomor 08/Pemb-DAJ/X/2025 yang dikirim ke DPRD Bali pada 2 November lalu. Dalam surat tersebut, Bendesa Adat Jimbaran I Gusti Made Rai Dirga Arsana Putra menyatakan bahwa masyarakat akan mengawali kegiatan dengan persembahyangan di Kantor Desa Adat Jimbaran sebelum rombongan bergerak menuju Jimbaran Hub, Kantor Wilayah BPN Provinsi Bali, Kantor Gubernur Bali, hingga ke Kantor DPRD Provinsi Bali untuk menyampaikan aspirasi terkait penguasaan lahan adat oleh PT JH yang selama ini dianggap merugikan hak masyarakat adat, khususnya para petani, nelayan, dan pengempon pura di kawasan tersebut.

Menanggapi aspirasi itu, Ketua Panitia Khusus Tata Ruang, Aset dan Perizinan (Pansus Trap) DPRD Bali Dr. (C) Made Supartha, S.H., M.H.,akan segera memanggil pihak PT JH Hijau untuk dimintai klarifikasi resmi.

Ketua Pansus Trap DPRD Bali,Dr. (C) Made Supartha, S.H., M.H.,  yang memimpin rapat dan menerima rombongan mengatakan pemanggilan dijadwalkan paling cepat pekan depan setelah dilakukan pengumpulan data dan inventarisasi masalah dari berbagai pihak.

” Kami ingin memastikan semua persoalan tata ruang dan hak atas tanah di wilayah tersebut diselesaikan secara menyeluruh, termasuk meninjau legalitas hibah dan penggunaan lahan untuk kepentingan komersial.

Ia menegaskan tanah adat, terutama yang menjadi lokasi tempat suci seperti pura, seharusnya tidak boleh dibatasi penggunaannya oleh pihak mana pun, terlebih area suci tersebut telah menjadi tempat ibadah turun-temurun.

“Orang pura itu memang sudah tempat ibadahnya dari zaman nenek moyangnya. Nggak boleh dilarang-larang. Orang beribadah, kita punya rumah kok malah jadi tamu, kan nggak bener. Jangan sampai orang Bali jadi tamu di rumahnya sendiri, ini contoh nyata,” tegas Dr. (C) Made Supartha, S.H., M.H., yang juga  Ketua Fraksi partai PDIP DPRD Bali ini.

Sementara itu, Bendesa Adat Jimbaran, I Gusti Made Rai Dirga Arsana Putra, mengungkapkan kondisi di lapangan memang jauh dari wajar. Sejak lahan tersebut dikuasai oleh PT JH sekitar tahun 2010 atau 2012, warga yang hendak bersembahyang di pura harus meminta izin terlebih dahulu kepada pihak perusahaan.

“Kalau misalkan tidak ada petugas yang pegang kunci, yang pegang gembok di portal itu ya nggak bisa masuk. Nah itu yang terjadi. Kami terus menerus berhadapan dengan warga kami yang mengeluh tidak bisa masuk pura untuk sembahyang,” katanya. Pembatasan itu, lanjutnya, berlaku bagi semua umat yang hendak sembahyang, termasuk jero mangku atau pengempon pura. Ia menyebut, kondisi seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya sebelum lahan tersebut dikelola oleh perusahaan.

Rai Dirga menegaskan, meskipun pihak perusahaan menyatakan tidak pernah menghalangi warga beribadah, faktanya justru berbeda di lapangan. “Jawaban dari pihak PT JH selalu mengatakan tidak pernah menghalangi orang bersembahyang. Tapi faktanya jalannya dirusak, di depan dipasangkan portal, dikunci, dan seterusnya. Jadi harus izin. Ini kan aneh, kita mau sembahyang kok izinnya kepada orang,” katanya.

Rai Dirga mengaku telah melakukan berbagai upaya, termasuk menemui sejumlah pejabat dan instansi pusat untuk mengusulkan pencabutan SHGB jika ditemukan pelanggaran peruntukan lahan.

Ada sembilan pura di kawasan tersebut diantaranya  :

  • Pura Batu Nunggul
  • Pura Batu Layah
  • Pura Batu Mejan, kini benar-benar terhalang akses.
  • Pura Taksu, masih bisa dikunjungi karena telah dibuatkan akses oleh pihak perusahaan. “Ada satu pura itu, pura Taksu itu dibuatkan memang akses oleh mereka. Nah inilah yang tadi pertanyaan tadi, apakah semua bulat masyarakat mendukung, enggak? Ada pura Taksu yang diberikan akses, kemudian pengempon-nya diberikan ganti tanah. Mereka tentu merasa PT JH itu sudah baik. Ada satu pura yang memang diperlakukan seperti itu, tapi sebelumnya itu ya bertengkar terus juga,” tuturnya.

Langkah DPRD Bali melalui Pansus Tata Ruang dan Perizinan ini diharapkan menjadi titik terang dalam penyelesaian sengketa lahan antara Desa Adat Jimbaran dan PT JH, terutama untuk memastikan hak masyarakat adat atas akses tempat suci serta kejelasan status tanah yang telah lama menjadi polemik di kawasan Jimbaran.

“Alangkah baiknya jangan dulu membangun pura karena masih ada laporan penyerobotan tanah. Kalau dipaksakan, malah bisa memicu masalah hukum baru,” ujar  Sekretaris Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, I Putu Wirata Dwikora, dalam forum mediasi di Kantor Lurah Jimbaran.

Sebagai Ketua Bali Corruption Watch (BCW), Wirata juga mengingatkan agar penggunaan dana hibah dilakukan dengan sangat hati-hati, sebab jika tidak sesuai peruntukan dapat menimbulkan persoalan hukum, termasuk dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor). “Kalau tidak sesuai peruntukan, bisa menimbulkan persoalan hukum, termasuk potensi Tipikor. Jadi sebaiknya tunggu semua proses hukum selesai dulu,” tegasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I Ketut Gede Arta juga menekankan pentingnya pertanggungjawaban penggunaan dana hibah. Jika tidak sesuai prosedur, maka realisasi dana bisa diperiksa oleh Inspektorat maupun BPK. Ia berharap agar semua pihak berhati-hati dan mengutamakan penyelesaian yang tidak menimbulkan polemik baru.

Sementara itu, sejumlah tokoh masyarakat Desa Adat Jimbaran menyatakan bahwa klaim adanya lahan adat yang bersengketa dengan PT Jimbaran Hijau tidak benar. Mantan Koordinator Baga Palemahan Desa Adat Jimbaran, Wayan Sukamta, menegaskan seluruh tanah milik desa adat telah bersertifikat, totalnya 33 sertifikat dengan luas sekitar 348.273 meter persegi. “Jadi tidak ada tanah adat yang sedang bersengketa dengan pihak mana pun,” ujarnya.

Sejak tiga dekade lalu, ratusan petani penggarap di kawasan Jimbaran memperjuangkan hak mereka atas tanah negara yang kini diklaim sebagai bagian dari pengembangan oleh PT Jimbaran Hijau. Persoalan status lahan dan hak kelola yang tumpang tindih membuat konflik tak kunjung usai.

(080)

214

Check Also

PT. ( Persero ) PLN UID  Bali 

Bali, Senin 17  November  2025 PT. ( Persero ) PLN UID  Bali   59

Ketua Fraksi PDIP DPRD Bali & Ketua Pansu TRAP DPRD  Bali Dr. ( C ) Made Supartha S.H.,M.H.,

Bali, Senin  17  November  2025 Ketua Fraksi PDIP DPRD Bali & Ketua Pansu TRAP DPRD  …